KUTITIPKAN
KENANGAN PADA MOTOR TUA
“ Untuk ayah tercinta
Aku ingin bernyanyi
Walau air mata di pipiku
Ayah dengarkanlah
Aku ingin berjumpa
Demikianlah potongan lagu dari Rinto Harahap yang sangat popular di masa lalu. Lagu tersebut
cukup menggambarkan perasaan saya ketika rindu mendera akan sosok seorang Ayah
yang tidak bisa saya temui setiap hari. Yups… tidak setiap hari saya bisa
bertemu ayah saya karena semenjak bekerja dan menikah saya tinggal jauh dari kampung
halaman saya. Walaupun masih dalam propinsi yang sama yaitu DIY tetapi saya
tinggal di Kabupaten Gunungkidul yang berjarak sekitar 70km dari Kabupaten
Sleman tempat tinggal orang tua saya.
Kakung, Biasa saya memanggil untuk ayah saya saat ini, karena
untuk mengajarkan bahasa yang benar untuk kedua buah hati saya. Takutnya kalau
dipanggil “ayah” nanti anak saya ikut ikutan memanggil kakeknya dengan sebutan “ayah”
kan tidak lucu…
Pak Guru, begitulah tetangga-tetangga dekat rumah sering
memanggilnya. Lho kok? Yups.. ketika masih muda Beliau adalah Guru SD yang
mengabdikan diri di sebuah SD impres atau SD intruksi presiden yang terletak di
daerah yang terpencil tepatnya di kabupaten Temanggung, Jawa tengah sekitar
tahun 1978. Masih segar dalam ingatan saya ketika itu kami sekeluarga tinggal
di rumah dinas yang belum ada arus listrik dan jalan yang belum teraspal. Yups…
itu sepenggal kisah “Pak guru” yang sekarang sudah Pensiun dan menikmati hari
tuanya di kampung halaman tercinta.
Ketika liburan akhir tahun seperti saat ini, saya sekeluarga
biasanya mudik untuk melepas rindu di kampung halaman. Pemandangan yang saya
selalu rindukan adalah ketika beliau sering membersihkan atau bahkan mencuci motor tua kesayangannya. Pemandangan
yang sering saya temui setiap saya pulang kampung. Begitu sayangnya beliau pada
motor tuanya karena tersimpan kenangan yang membuat saya kadang tidak habis pikir.
Ternyata kuasa Tuhan sangatlah nyata.
Honda seri C70 atau ayah saya sering menyebut “Si Pitung”
dalam bahasa jawa pitung adalah singkatan dari pitungpuluh atau tujuhpuluh.
Yups…. Si Pitung inilah yang menjadi aktor utama dalam kisah perjalanan “Pak
Guru”. Si Pitung, motor yang dibeli dari hasil bertahun-tahun menabung dengan
menyisihkan gaji bulanan guru SD. Itupun dibeli bukan dari baru melainkan
second atau bekas pakai.
“Pak Guru” usianya memang tidaklah muda saat ini, Beliau sekarang
sudah memasuki usia 65 tahun. Namun semangatnya dalam merawat motor tuanya “ Si
Pitung” tidaklah perlu dipertanyakan. Bahkan ketika beliau mulai bercerita
tentang “Si Pitung” maka tampak jelas dalam bayangan saya, apa yang beliau
rasakan saat itu.
“Motor ini pernah
dijual untuk biaya persalinan ibumu”, ujarnya
ketika memulai kisahnya. Kemudian bercerita panjang lebar tentang motor tuanya “Si
Pitung”. Walaupun saya sudah berkali-kali mendengarkan cerita tersebut namun
tidaklah lelah bahkan rasanya seperti mendengarkan cerita yang baru dari
beliau.
Beliau bercerita, membeli motor tersebut sekitar tahun 1982 dari
hasil menabung selama 4 tahun dipakai setiap hari untuk pergi mengajar di SD impres.
Dua tahun kemudian tahun 1984 ketika ibu saya mengandung anak pertama yaitu “Saya”,
Ayah saya terpaksa menjual “Si Pitung” untuk biaya persalinan. Ketika saya
memperhatikan beliau , Nampak sekali tatapan matanya yang begitu dalam. Saya masih menyaksikan dengan jelas
semangatnya waktu itu mengarungi hidup yang penuh perjuangan. Yups… Saya dulu
lahir dibayar dengan uang hasil penjualan “Si Pitung”, dan itu sudah cukup
membuat saya merasa berhutang, dan tidak akan pernah sanggup saya bayar sampai
kapanpun.
“Motor ini tahun 80an
adalah motor yang paling irit karena menggunakan mesin 4 tak sedangkan merk
lain masih 2 tak”,
Beliau melanjutkan ceritanya. Yups.. benar saja ketika saya mencari informasi
di dunia maya memang pada periode tahun 70-80an, Honda C70 adalah salah satu
seri keluarga sepeda motor Honda Super Cub yang banyak berkeliaran di jalanan. Selain
model CB, sepeda motor Honda produksi lawas yang tak kalah mentereng adalah Honda
Super Cub. Honda C Series itu merupakan cikal bakal bentuk motor bebek yang
dipakai Honda hingga sekarang. Honda C70 awalnya adalah Honda C100 yang terlebih
dahulu diproduksi sekitar tahu 1958. Walaupun menggunakan nama C100 namun hanya
menggunakan mesin 50 cc. Karena respon masyarakat yang antusias maka Honda
mengembangkan model baru yaitu seri C102 dan seri C110, perbedaannya adalah
dari segi kerangka mesin. Untuk urusan mesin masih sama menggunakan mesin 50cc.
Honda C102 memiliki kerangka seperti seri C100 tapi dengan bentuk jok yang
berbeda dengan bentuk lebih panjang. Sedangkan seri C110 memiliki kerangka mirip
dengan keluarga Honda CB. Kemudian muncul lagi C Series yaitu Honda C50. Mesin masih
sama namun menggunakan teknologi terbaru yaitu overhead camshaft (ohc). Setahun
kemudian, Honda mengeluarkan kembali keluarga Super Cub dengan nama sepeda
motor Honda C90 yang berkapasitas mesin sedikit lebih besar dari seri C50. Kemudian
tahun 1966, lahirlah seri C70 dengan mesin motor bebek terbesar pada masa itu,
yaitu 70 cc.
“Setelah menabung kembali selama beberapa tahun, akhirnya motor
ini terbeli kembali. Bapak dulu jualnya sama teman guru jadi waktu bapak punya uang, bapak mohon
untuk dibeli kembali.”, beliau melanjutkan cerita dengan senyum kecil dibibirnya. Menurut
penuturan beliau, memang akhirnya motor tuanya “Si Pitung” ini dapat dibeli
kembali karena kebaikan temannya yang rela menjual kembali motornya ke ayah
saya setelah mendengar cerita bahwa “Si Pitung” adalah motor penuh kenangan di
keluarga kami karena pernah dijual untuk biaya persalinan.
“ Harusnya kamu berterimakasih sama Si Pitung karena
pengorbanannya sampai dijual supaya kamu bisa lahir”, dengan nada
bercanda beliau melanjutkan lagi ceritanya. Yeah… Sebenarnya karena pengorbanan
orang tua dan kuasa Tuhan saja motor tua “ Si Pitung” begitu penuh kenangan
bagi keluarga kami.
Terlintas
dalam benak saya begitu besar jasa PT. Astra Honda Motor hingga saat ini masih
setia menghadirkan produk-produk yang berkualitas dan awet. Buktinya “si Pitung”
yang sekitar 30 tahun sampai saat ini masih setia menemani “Pak Guru” ayah saya
dihari tuanya. “ Si Pitung” yang masih nyaman dikendarai dan mengadirkan Perjalanan Penuh Inspirasi di keluarga
kami.
Selamat dan
terimakasih untuk ASTRA semoga selalu menginspirasi disetiap tahun perjalanan
dari generasi ke generasi.
Salam SATU Indonesia!
“Inspirasi
60 Tahun Astra”